Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi perlu diperjelas
kriterianya berdasarkan gradasi, kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Hifdzil Alim. "Jadi,
hukuman mati tidak serta-merta diterapkan kepada semua pelaku korupsi, tetapi
ada gradasinya seperti kelas teri, kelas kakap, dan kelas paus. Hukuman mati
mungkin bisa diterapkan untuk kelas paus,"katanya di Yogyakarta, Ahad
(29/9). Selain itu, kata dia menanggapi wacana hukuman mati bagi koruptor,
kriteria korupsi yang mungkin juga bisa dijatuhi hukuman mati adalah jumlah
uang yang dikorupsi, status pelaku, dan berhubungan langsung dengan kepentingan
publik. "Kriteria itu perlu didefinisikan secara jelas dan lengkap
kemudian dimasukkan dalam batang tubuh UU agar bisa dijadikan acuan untuk
menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di negeri ini,"
katanya. Menurut dia, Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang diamendemen
menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memungkinkan pelaku korupsi di negeri ini dijatuhi hukuman mati. Jadi, secara
hukum formil, hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam UU. Oleh karena
itu, hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di negeri ini tidak perlu
dipertentangkan dan dikaitkan dengan isu hak asasi manusia. Ia mengatakan,
hukuman mati bagi koruptor diatur dalam UU karena tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi "Korupsi termasuk tindak kejahatan
luar biasa. Tindak kejahatan luar biasa harus ditangani secara luar biasa agar
bisa memberikan efek jera bagi pelakunya sehingga kejahatan tersebut bisa
dihentikan," katanya. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua
Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) yang juga mantan
Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso mengusulkan penerapan hukuman mati
bagi para koruptor agar menimbulkan efek jera. termasuk kejahatan luar biasa
karena merampas hak seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar